Cari Duit ala Bocah

Kala Gang Puspa masih eksis, Malik punya banyak aksi. Antaranya, menyewakan payung. Kalau hujan sore-sore, ia pergi ke gedung LIPI. Targetnya, pegawai yang berjalan ke halte Telkomsel atau yang akan naik jembatan penyeberangan. Tarifnya, tak pernah dipatok, tapi yang pelit memberi 50 perak, sementara tertinggi 500 rupiah. Penghasilan Malik dan teman-teman selalu melebihi 10 ribu rupiah, kadang jauh di atas itu. Tahun 1990-an, uang sebesar itu laku ditukar sebungkus rokok, seporsi mie goreng, dan kudapan lain, yang bikin tongkrongan lebih bergaya. Meski masih SD, cari uang untuk bergaul sudah dilakukan. 

Menginjak SMP, Malik dan teman-teman jadi joki 3 in 1. Di mulut jalan Sudirman, mereka menawarkan jasa untuk mobil yang butuh penumpang. Berbekal pakaian bersih-rapi dan gak ngutil barang-barang di mobil, mereka pun punya pelanggan. Pendapatan joki jelas lebih besar dari sewa payung. Jelang lebaran, pelanggan juga memberi uang lebih. Tapi, pesaing makin banyak, makin tak mudah men-joki berkali-kali dalam sehari. Apalagi, lahan kerja ini juga digaruk anak-anak Rawa Pule, sampai akhirnya direbut ‘geng’ dari Kuningan (Rasuna Said). Malik sempat berhenti sampai ketemu titik tunggu dan pelanggan baru di Apotik Senopati. 

Malik bukan satu-satunya yang punya aksi. Saya pun begitu. Ingin punya teman lebih banyak, jelas butuh modal, kalau gak gitu, gak akan nyambung. Misalnya, geng Nintendo yang sering pamer koleksi kaset dan taktik permainan. Saya kagum pada mereka, tapi saya tak mampu beli perangkat itu, kami pun jadi susah nge-klik. Sebaliknya, pada buku, pergaulan lebih masuk akal. Harganya masih terjangkau. Selain itu, ’geng’ buku pun mengagumkan karena mampu mengidentifikasi karakter para tokoh, sementara saya cuma tahu jalan cerita dari A ke Z.

Kala itu, kelas 6 SD, ketika Blok-S masih menawan dengan pohon cemara, saya ajak teman-teman mencari uang. Kami menjual keranjang permen dan teka-teki silang, menyewakan cerita karangan sendiri dan buku-buku pinjaman. Dari penghasilan ini, saya bisa beli buku yang sedang dibicarakan. Kalau ada uang lebih, saya beli buku lain, dengan harapan bisa jadi tren. Aksi ini memakan energi dan waktu, saya suka capek dan kesal sendiri. Tapi, suatu hari ada yang bilang, ‘kamu punya banyak buku, ya? Apa aja yang dicari pasti ada’. Wah! Berhasil! Hati ini senang sekali.*** 

Narator dan foto: Abdul Malik

Teks: Rika Febriyani

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: