Koran

Belakangan saya membaca Kompas lagi, setelah melupakannya bertahun-tahun. Di dekade 2010, saya merasa hampir seluruh isinya membosankan. Tapi, kini, dia kembali menggelitik dan kaya perspektif. Kemarin, misalnya, saat menyinggung hukuman mati terhadap ucapan dan tindakan yang berpotensi menjatuhkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Peraturan itu, tentu saja, dibuat untuk melanggengkan kepentingan penjajah. Saya pikir ini bahan renungan yang baik dan kekinian, menimbang keberadaan pasal penghinaan sampai kecaman terhadap pengucapan kata ‘merdeka’. 

Kompas mulai saya baca sejak tahun 2000. Dia menyenangkan bukan karena beritanya, tetapi tulisan tentang pemikiran, penyikapan, strategi kehidupan, serta bermacam pengetahuan lintas tempat dan waktu. Saya kerap menyimpan artikel yang menarik sampai tiba waktu untuk diloak, karena tak ada tempat lagi, atau harus musnah oleh banjir. Di dekade ini, saya biasa membeli Kompas di terminal Blok-M, saat semua koran dijual setengah harga pada sore hari. Saya juga pernah menitip simpan edisi harian selama seminggu untuk diambil di hari Sabtu saat kembali dari luar kota.

Sementara itu, di dekat rumah, ada agen koran di pengkolan jl. Senayan dan jl. Kapten Tendean. Tahun 2000an, ia tenar, lapaknya cukup luas, di sampingnya ada warung rokok dan pangkalan ojek. Kalau pulang malam, saya pasti mampir ke sini, sekalian menyewa ojek. Di hari minggu, sementara mama membeli Kompas dari seorang loper, saya masih juga suka ke sini karena penasaran pada Sindo, Koran Tempo, Koran Jakarta, Media Indonesia, Republika, dan lain-lain. Pernah saya diperbolehkan membawa koran pulang dengan cuma-cuma. Mungkin ia capek melihat saya, yang serius sekali ingin mengubah dunia dan menjadi seorang intelektual. 😛😛😛

Teks: rika febriyani
Sumber foto: detik.news

Artikel terkait: Menelaah Peraturan Hukum Pidana di Masa Hindia Belanda, Kompas E-paper, 22 Juni 2021.

#akamsisenopati