Tahun 2003, setelah pergi dari kampus teknik, saya mengunjungi perpustakaan setiap hari. Ada tiga yang utama, kebetulan mereka berdekatan, jadi hemat ongkos. Paling dekat, perpustakaan Erasmus Huis, bisa dicapai dengan Kopaja 620 (jurusan Blok M – Pasar Rumput). Lalu, Perpustakaan Umum Daerah di gedung Nyi Ageng Serang, juga dengan bus yang sama. Sedikit lebih jauh, ada perpustakaan Goethe Institut, naik Kopaja 620 lalu nyambung Kopaja 20 (jurusan Senen – Lebak Bulus). Di tempat-tempat ini, saya menyelami banyak teks, mencoba menulis fiksi, dan memahami hal-hal terkait. Sampai sekarang, ketiga perpustakaan ini masih eksis.
Koleksi buku terlengkap ada di gedung Nyi Ageng Serang, lantai 7. Peminat politik, sejarah, budaya, sastra klasik, sampai fiksi romantis, bisa menemui banyak karya penting yang pernah ada di negeri ini. Kala itu, jelang pertengahan 2000, koleksi baru rutin dihadirkan. Untuk anak, tersedia bagian khusus dengan koleksi yang sepertinya memuaskan. Di lantai 8, ada terbitan rutin seperti koran dan majalah, juga pustaka tentang Betawi. Buku-buku di perpustakaan ini boleh dipinjam-pulang, setelah menjadi anggota.
Koleksi di Erasmus Huis dan Goethe Institut, juga boleh dipinjam-pulang. Kalau telat mengembalikan, dulu itu dendanya 200 rupiah per hari. Masing-masing perpustakaan ini, selain relatif lebih tenang, berada se-lokasi dengan aula pertunjukkan. Jadi, kalau ada acara dan berminat hadir, tinggal pindah ruangan. Acaranya bisa berupa pameran, diskusi, nonton film, pertunjukkan musik, tari, atau, kadang-kadang teater. Hampir seluruh acara tak berbayar, dan kebanyakan yang di Goethe Institut terasa lebih progresif.
Selanjutnya tentang mereka ada di Instagram:
@erasmushuis_jakarta, @goetheinstitut_indonesien, @perpumda_kuningan
Selamat menjalankan ibadah puasa 🙂
Teks dan foto: Rika Febriyani
Keterangan foto: ‘Bumiku cuma satu’, karya mural di bawah Jalan Layang Kuningan, 2008.
#akamsisenopati