Periode 1990, ada tiga tukang mie lewat Kebalen. Yang pertama bunyinya tek-tek-tek, biasa lewat sekitar jam 7 malam. Andalannya, mie godog atau mie rebus, dan ini cuma mama yang doyan. Yang kedua, lewat antara jam 8 – 9 malam, ini bunyinya duk-duk-duk. Yang ketiga, sama bunyi tapi terdengar lebih ‘o’, jadi kami sebut Mie Dok-dok. Nah, yang ini kesukaan satu rumah, meski sering tiba di atas jam 10 malam, dan terbilang larut untuk makanan berat. Penjualnya ada dua orang, yang satu tinggi jangkung. Di masa itu, mereka membuat mie goreng yang mungkin paling enak se-antero kampung. Bumbu racikannya sukses mencapai imbang rasa pedas dan manis. Mienya selalu matang di menit yang tepat, sama sekali tidak lembek ataupun keras. Lauknya sebutir telor yang didadar hancur, sedikit irisan bakso dan ayam, beberapa potong ati-ampela, dan berlembar sawi-kol. Pelengkap sajian adalah setangkup krupuk bawang, sesendok acar timun-wortel beserta cabai rawit dan, kadang-kadang, sesiung bawang merah.
Teks: rika febriyani
Foto: screen shot dari https://www.youtube.com/watch?v=E9kEwwl8E7w
#akamsisenopati