1996, krisis politik menajam. Saya, sedikit pun tak sadar. Pulang sekolah keluyuran di Blok M. Malam minggu pasti main ke Senayan. Kalau mama beri uang lebih, berarti bisa nonton di bioskop. Kalau nggak, asal sanggup beli cheeseburger atau ayam goreng plus french fries, yang otomatis gratis berlimpah saos sambal, nyata bikin hati senang. Bisa saya berkali-kali mengelilingi shopping mall tanpa belanja, membuat diri ingat letak dan harga macam-macam produk.
1997, krisis moneter menerpa. Supir ojek makin banyak, lapak kaki lima terus bertambah. Di rumah, berhari-hari saya makan mie instan. Di blok M, mantan pacar jual makanan Padang. Di sekolah, anak-anak orang kaya, atau sering disebut geng borju, ikut buka lapak. Gelora berjualan di jalan merambah kemana-mana, bukan cuma milik orang yang di-PHK.
Dalam kurun waktu ini, saya sadar gap selain daya beli. Suatu hari, kebetulan pulang nebeng geng borju, saya jadi tahu ada supermarket bebas pajak, yang bahkan mesti jadi anggota untuk bisa masuk. Usai belanja, percakapan mereka pun mencengangkan. Mereka menyebut banyak produk dari antah berantah, mengerti beda sifat antar merek, lalu mendiskusikan kombinasi takaran milkshake layak jual. Saya cuma bisa terheran-heran, bagaimana mereka dapat informasi itu? Adakah majalah remaja yang tidak saya baca? Apa kita semua berada dalam gelombang televisi dan radio yang sama?
1999, tren jualan ala ‘kafe tenda’ menjamur. Para selebriti dapat kaveling khusus di kawasan bisnis Sudirman, tak jauh dari supermarket borju itu. Tiap malam, kaveling itu bertabur lampu-lampu dekorasi yang menyolok. Berkali saya berkunjung, ingin terlibat, sambil menerka jika, setelah 1998, inilah masa depan. Tapi, kualitas makan-minum di kafe tenda sering tak sebanding dengan harga jual. Saya jadi tak mengerti keperluan berada di situ.***
Teks: Rika Febriyani
Foto: @paminto1 (Instagram)
Keterangan foto: suasana penjual gulai tikungan (gultik), Blok M.
#akamsisenopati