Di keluarga kami yang ‘Jawa’, nasi ulam terbilang pendatang baru. Bisa dibilang, saya yang mengenalkan. Kala itu, awal 2010, sering sok-sok’an bikin makanan eksotis. Tapi, nasi ulam buatan saya tak terbilang sukses. Hanya adik ipar, Aliandri Ginanjar, yang doyan. Ia bolak-balik menyendok dari dandang sampai ludes. Bertahun kemudian, kami mulai beli nasi ulam untuk sarapan.
Di lingkungan kami, banyak orang gemar nasi ulam bikinan Mpok Sadi’ah. Ia berjualan di turunan gang Rengas. Emaknya, mpok Nani, yang mewariskan tempat jualan dan ketrampilan meracik. Seorang pelanggan mereka, Riva Romli, yang pernah tinggal di Kebalen, sering terkenang-kenang. Meski berdarah Palembang, ia termotivasi bereksperimen dengan selera Betawi-nya. Katanya, nasi ulam ala Mpok Sadi’ah, yang berteman serundeng, rebusan kacang ijo, dan semur tahu, tak muncul di sembarang tempat. Tiap wilayah, punya gaya. Di Rawa Belong, misalnya, nasi ulam pakai lauk bihun. Di Jakpus, banjir kuah semur. Sedangkan di Jaksel, cenderung kering.
Dulu, tak kalah kondang dengan Mpok Sadi’ah, ada nasi ulam Baba Aris. Warungnya bertempat di Gang Limo, atau di belakang Masjid Jami Nurul Hidayah dan Pasar Menek – Bhakti. Kampung ini sudah lama pelan-pelan digusur. Sekarang, tinggal satu-dua rumah bersanding dengan tembok bak benteng dan tanah-tanah kosong. Siti Chodijah Thabrani, orang Betawi asli Blok-S, yang angkat kaki dari Gang Limo akhir 2012, bilang pembeli nasi ulam Baba Aris mulai datang selepas Subuh. Menurutnya, yang paling khas, selain semur tahu, adalah sambal kacang campur cuka. Pun, hingga hari ini, ia menjadikan cita rasa itu sebagai patokan, “aku mau ikut khas Blok-S, karena rasanya tak tergantikan”.
Buat yang ingin santap nasi ulam khas Blok-S, silahkan datang ke Rengas, dan tanya orang sekitar dimana lokasi warung Mpok Sadi’ah, boleh juga pesan bikinan Siti Chodijah Thabrani via Facebook.
Teks: & dekorasi Rika Febriyani
Foto: Siti Chodijah Thabarani
Narator: Riva Romli, Siti Chodijah Thabarani