Opung tinggal di Kebalen V sejak 1954. Beliau berasal dari Hutaimbaru, Sumatera Utara. Datang ke Jakarta, saat hamil ke-4, setelah sempat tinggal di Bandung. Suami opung seorang pelaut. Rumah pertama mereka terbuat dari bilik dan tembok, dibangun di atas tanah yang melandai menuju Kali Krukut. Tahun demi tahun, opung membeli tanah-tanah di sekitar rumahnya. Hingga hari ini, tanah-tanah itu dihuni sebagian anak-cucunya.
Saya kenal opung saat SMP, karena satu sekolah dengan cucunya. Sebenarnya, rumah kami hanya diantarai dua-tiga rumah saja. Tapi, pergaulan saya sangat ditentukan oleh perjumpaan di sekolah. Jadi, meski sudah tinggal sejak 1985, saya baru tahu keluarga opung 7 tahun kemudian.
Sepulang sekolah, saya kerap bermain di rumah opung. Selain Joan, cucu yang se-angkatan dengan saya, ada Gaby, Debby, dan beberapa cucu lain. Lalu, ada anak perempuan opung, yang kami panggil ujing Aya dan ujing Butet. Sering juga berkunjung, anak-anak opung yang sudah punya rumah sendiri. Selain jarang sepi, hal yang bikin saya nyaman di rumah opung, penghuninya perempuan semua.
Di rumah opung, banyak hal yang membuat takjub. Pertama, opung dan ujing-ujing tidak pantang merokok. Di rumah saya, hanya laki-laki yang boleh merokok, sementara perempuan, berapa pun usianya, hanya diperkenankan menghirup asapnya. Kedua, opung lebih rileks dengan batas ‘jam malam’. Di keluarga saya, tentu, hanya laki-laki yang dianggap pantas pulang kapan saja.
Perbedaan lain adalah usaha membela diri. Ketika ada petasan dilempar ke halaman rumah, cucu-cucu opung serempak keluar mengejar para pelaku. Mereka geram karena petasan itu jatuh dekat material yang mudah meledak. Di rumah kami, banyak juga petasan mendarat di halaman, tapi sejauh-jauhnya respon adalah berteriak dan memaki, dengan tetap berada di balik pagar.
Semasa opung hidup, perayaan natal berpusat di rumahnya. Semua anak-cucu, juga saudara-saudaranya, berkumpul untuk bergembira. Sering saya mendengar kemeriahan ini, ditambah suara pohon natal yang bernyanyi menyambut para tamu. Tahun 2004, saat opung wafat, banyak yang menangis, ada yang berteriak histeris. Upacara pemakaman berlangsung berhari-hari. Saya datang beberapa kali, tanpa berani mendekati pembaringannya. Ada gemuruh duka yang tak ingin saya campuri, juga mungkin tak bisa saya tanggung.
Sepanjang kami bertemu muka, opung selalu bicara dengan suara lantang. Penggalan kata khas kepada cucu-cucunya, “hei, kau…..”. Setiap ke rumahnya, saya akan menemui opung duduk di depan meja, asyik bermain kartu secara individual. Ia selalu memberi salam “haloooo”, dengan senyum manis.***
Sumber foto & informasi: Debby Heideline
Teks: Rika Febriyani