Bagi mama, memasak bukan kegiatan menyenangkan. Ia jarang memilah resep, apalagi mencoba menu baru. Bumbu tak pernah jauh dari bawang putih, bawang merah, kemiri, lada, ketumbar, jahe, salam, laos, kunyit, dan kunci. Bedanya cuma di takaran. Misalnya, bawang merah harus lebih banyak kalau masak semur. Sebaliknya, sup ayam, pakai bawang putih saja. Tapi, dengan patokan sederhana ini, masakan pertama, semur tahu-telor, bisa saya bikin saat masih SD.
Perubahan bahan makanan terjadi dalam periode 2000an. Bawang bombay makin populer di acara masak televisi swasta. Sawi hijau yang jangkung makin jarang tersedia, tukang sayur lebih sering membawa pak choi. Daun mint, mulai bermunculan di beberapa pasar. Sementara, daun kunyit, untuk bikin rendang, makin sulit ditemukan. Dalam periode ini, saya mendapat resep ayam kecap ala restoran Cina. Takjub rasanya, saat mencium aroma angciu, kecap asin, dan kecap Inggris, hasil campuran tangan sendiri. Aksi coba-coba seperti ini membuat bermacam botol saus berdiam di dapur mama.
Akhir periode 2010, rempah dari mancanegara terbilang mudah ditemukan. Misalnya, garam masala di supermarket dekat pasar Santa. Lalu, oregano, thyme, dan basil, di supermarket pojokan jalan Tulodong. Kalau belanja lewat toko online, bumbu darimana pun bisa didapat. Berbekal seabrek resep dari portal berita dan sosial media, saya jadi tahu apa dan bagaimana bumbu-bumbu ini digunakan. Termasuk, ketika seorang teman memberi hadiah ras el hanout. Dibandingkan mama, masakan saya boleh jadi lebih bervariasi. Tapi, jarang saya bisa bikin makanan dengan hasil persis sama berulang kali. Hasil autentik seperti sayur gori khas bikinan mama, atau semur Betawi ala ibunya Bahwani, mungkin masih dalam perjalanan.***
Teks-foto: Rika Febriyani