Di rumah kami, karena profesi mama, banyak perkakas medis menjelma jadi perabot rumah tangga. Etalase obat untuk menyimpan barang pecah belah, bekas bed melahirkan untuk meja dapur, gunting-gunting bengkok untuk memotong segala, dari kertas, tali rafia, sampai bungkus mie instan. Perkakas dalam foto adalah meja obat yang jadi tempat kosmetik, biasanya diletakkan di bawah cermin.
Pertengahan 1990, mama membuka praktek, namanya, Bidan Wati. Modalnya kamar tidur yang dibagi jadi tempat bersalin dan ruang inap, juga kolam ikan yang diratakan untuk ruang konsultasi. Lima tahun pertama, ia begitu bersemangat, meski pasiennya tak pernah sebanyak Bidan Parin. Kepada kami, anak-anaknya, mungkin juga dengan bidan-bidan lain di puskesmas tempatnya bekerja, mama sering membicarakan mimpi prakteknya membesar sampai jadi klinik.
Tapi, ia mulai berubah, setelah dua pasiennya nyaris tewas. Saya masih ingat subuh-subuh yang heboh, saat ia menyadari kegagalannya membidani persalinan. Mama membawa mereka ke rumah sakit dengan kecepatan mengemudi bagai pembalap. Ia tak punya cukup alat praktek, mungkin juga keahlian, untuk menangani persalinan yang terbilang sulit. Ketakutannya kala itu mesti jauh lebih besar dari yang saya bayangkan. Selanjutnya, mama cuma melayani pasien kontrasepsi dan berobat.
Pasca banjir 2002, praktek Bidan Wati tutup selamanya. Rusaknya obat-obatan dan slat-alat praktek menegaskan mimpi yang tak akan terwujud. Mama mengambil pensiun dini di akhir 2000. Ia mengubah ruang praktek jadi kamar kost-kost’an.
Teks: Rika Febriyani
Foto: Vierdellana TA
#akamsisenopati