Minggu lalu, Nurfa Dilla posting sepiring pecel di Instagram. Pecel itu berumah di tepi lapangan Blok-S, tepat sebelah mushalla. Dia terlihat ‘endes’, juga bikin ingat warteg langganan di jalan Senayan, tepat di belakang SDN Rawa Barat. Andalan warteg itu: pecel sayur, peyek udang, dan bakwan jagung. Dulu, pas jam makan siang, warteg itu selalu dikerumuni laki-laki. Sebaik-baiknya waktu berbelanja adalah jam 11.50. Kalau tidak, mesti antri atau tunggu sepi sampai jam 2 siang.
Saya lupa nama warteg itu, namun sambal pecelnya tetap di memori: pedas, manis, gurih. Mama dan eyang tak pernah bikin tandingannya, apalagi sambal yang dijual dalam plastik. Adik saya bilang nama warteg itu adalah Slawi Ayu, tapi sesuai perilaku si pemilik, mama menjulukinya ‘Warteg Ibu Galak”.
Waktu mereka masih hidup, si ibu galak selalu ada di balik etalase. Badannya besar, cara bicaranya ketus, dan jelas tak pernah senyum. Tugasnya menyajikan makanan dan mengendalikan pembayaran. Di sisinya, ada si suami yang 180 derajat berbeda, ya perawakannya, ya perilakunya. Di belakang mereka, ada dua mbak-mbak dan satu mas-mas. Ketiganya berusia jauh lebih muda dan bekerja meracik makanan. Mereka mengupas, memotong, menumbuk, mengaduk, merebus, menumis, dan menggoreng. Dalam satu waktu, warteg itu bisa menyajikan 12 masakan di etalase. Dia beroperasi dari pagi sampai malam, dan di akhir pekan biasanya tutup.***
Teks: Rika Febriyani
Foto: Nurfa Dilla
Pendukung informasi: Nurfa Dilla dan Rona Akidita
#akamsisenopati