Mu Gung Hwa (MGH) berdiri sekitar 1990-an, menggantikan toko pakaian yang sepi. Produk yang dijual berbeda dari kebanyakan supermarket. Beberapa kali berkunjung, saya- yang waktu itu berusia sekitar 10 tahun- lebih sering lihat-lihat saja, sampai, akhirnya, membeli roti tawar. Saya lalu tak datang lagi. Terlalu asing. Kemudian Mama bilang MGH adalah toko makanan untuk orang Korea.
Di depan MGH adalah jalan Suren dan Birah. Dari pertengahan 1980, rumah di jalan-jalan tersebut, satu per satu, berganti penghuni. Penghuni baru datang dari Korea. MGH jelas hadir untuk mereka. Ia pun cepat berkembang, bertambah besar dalam beberapa tahun saja. Lalu, toko-toko yang sederet dengannya, di jalan Senayan, ikut-ikut berubah dan jadi untuk orang Korea, misalnya toko pakaian, kerajinan, salon, dan restoran. Menginjak tahun 2000-an, isi dagangan ala negerinya Park Seo-joon ini, merambah jalan Senopati dan Wolter Mongisidi.
Demikian, orang-orang Korea ini jarang sekali terlihat. Mereka tidak berjalan kaki ke toko di seberang rumah, tidak tersenyum bertegur sapa dari balik pagar, dan tidak berkunjung mengenalkan diri sebagai penghuni baru. Sebaliknya, saya makin minder masuk ke toko-toko mereka yang kian banyak, tapi namanya saja tidak bisa saya baca. Lebih dari 30 tahun hidup di satu lingkungan, tak seorang pun dari mereka yang saya kenal.***
#akamsisenopati
(teks dan foto: Rika Febriyani)
Ditulis ulang dari https://warungjakarta-blog.tumblr.com/