Soal beras, mama selalu bilang ‘Rojolele tuh paling enak, pulen, dan wangi’. Setiap satu karung habis, datang satu karung lagi. Tidak selalu beras itu sih, karena harganya mahal, kami juga makan beras Pandan Wangi. Tapi, semakin saya besar, semakin jarang Rojolele hadir di rumah, beli beras pun jadi diketeng. Kami beli per-liter di warung pak Haji (sejak beliau tiada, warung diurus anaknya, disebut warung mpok Ncum). Di sana, beras dulu disediakan dalam boks-boks kayu, ditakar dengan gelas logam tebal, lalu dibungkus kantong kertas coklat. Seingat saya, sejak melewati masa krisis 1996, mama tidak lagi pernah beli beras karungan. Selain soal keuangan, ada pula pertimbangan lingkungan, Kebalen semakin sering kebanjiran.
Di lain hal, kalau bukan karena pandemi dan isu kedaulatan pangan, saya tak akan mengulik Rojolele lebih jauh. Bahwa ia bisa sampai ke dapur kami berkat Gatot Surono, petani yang sempat diciduk militer karena melawan revolusi hijau. Program itu melarang petani menanam padi lokal, demi menggenjot produksi padi modern. Tapi, ternyata, di Jakarta, Rojolele digemari, padahal harganya lebih mahal dari beras berlabel IR. Saya kira hanya kalangan tertentu saja yang menyantap beras lokal ini, yang bikin ia ‘survive’ sampai sekarang. Saya tahu warung mpok Ncum tak menjual beras Rojolele dan menduga sedia beras berlabel IR. Tapi, ketika ditanya, jawabannya adalah beras Petruk dan Jeruk. Saya tak tahu apakah dua beras ini termasuk padi lokal atau hasil agenda revolusi hijau. Sangat dangkal, pengetahuan saya tentang pangan.***
#akamsisenopati
Reporter: Vierdellana
Teks: Rika Febriyani
Lebih lanjut soal Gatot Surono dan Rojolele:
https://tirto.id/kisah-gatot-surono-dan-rojolele-di-tengah-revolusi-hijau-orde-baru-ftcg
